Oleh: Achmad Hilman M
Istilah pekerjaan sosial mungkin sudah tidak asing lagi di telinga masyarakat Indonesia, namun kebanyakan masyarakat yang pernah mendengar istilah pekerjaan sosial belum tentu paham secara benar mengenai apa itu profesi pekerjaan sosial.
Pekerja sosial (social worker) sebagai pelaku pekerjaan sosial (social work) sering kali dibaurkan dengan relawan dan tenaga kesejahteraan sosial atau sejenisnya. Padahal hal tersebut kurang tepat. Pekerja sosial bisa jadi relawan namun relawan belum tentu seorang pekerja sosial. Karena sejatinya tidak semua orang dapat menjadi pekerja sosial. Untuk lebih jelasnnya anda dapat melihatnya dalam UU No.11 tahun 2009 tentang Kesejahteraan sosial, disana dijelaskan siapa itu pekerja, sosial siapa itu tenaga kesejahteraan sosial, dan siapa itu relawan.
Pekerjaan sosial (social work) sebenarnya sudah sangat eksis dan populer di negara-negara maju seperti Amerika, Australia, dan negara-negara eropa. Bidang kajiannya pun banyak, begitu juga dengan setting-nya. Namun, apa yang menjadikan pekerjaan sosial jadi sesuatu yang asing dan belum dipahami secara benar oleh masyarakat luas?
Saya beranggapan bahwa hal itu terjadi karena ada eksklusifisme pekerja sosial yang enggan berkerja di ranah primary setting melainkan kebanyakan lebih milih bekerja di ranah secondary setting.
Sebelum berbicara lebih panjang, saya akan menjelaskan sedikit mengnai primary setting dan secondary setting dalam pekerjaan sosial. Primary setting adalah tempat dimana pekerja sosial menjadi profesi utama dalam melakukan pelayanan dan secondary setting adalah dimana pekerja sosial menjadi profesi penunjang dalam suatu pelayanan. Seperti seorang dokter, primary setting dari profesi dokter adalah di rumah sakit kemudian perawat menjadi profesi penunjangnya.
Dalam profesi pekerjaan sosial, yang menjadi primary setting-nya adalah lembaga-lembaga pelayanan sosial seperti panti-panti baik panti sosial maupun panti rehabilitasi dan LSM atau NGO. sedangkan secondary setting pekerjaan sosial salah satunya adalah di perusahaan. Pekerja sosial bisa masuk kedalam setting industri. banyak yang dapat dilakukan disana. Jika pekerja sosial masuk pada setting industri maka pekerja sosial dapat disebut sebagai pekerja sosial industri. Banyak yang dapat dilakukan disana, mulai dari konseling, menangani keselamatan kerja (K3) hingga CSR, selain itu juga pekerja sosial dapat bekerja di rumah sakit, di sekolah, di manajemen bencana alam, social entreprenurship dan masih banyak lagi.
Fenomena yang terjadi di Indonesia sekarang adalah para pekerja sosial lebih tertarik bekerja di secondary setting yang dinilai lebih menggiurkan dan menjanjikan kesejahteraan yang lebih baik ketimbang pekerja sosial bekerja pada primary setting. Tren yang sekarang sedang berkembang adalah para mahasiswa kesejahteraan sosial dan pekerjaan sosial berlomba-lomba untuk dapat bekerja di setting industri khususnya di bidang CSR pada perusahan-perusahan energi. Selain setting industri, ada bidang lain yang sekarang juga sedang ‘naik daun’, yaitu social entrepreneurship atau kewirausahaan sosial. Di salah satu penyelenggara penididikan pekerjaan sosial atau kesejahteraan sosial di Indonesia ada yang sangat mendorong mahasiswanya untuk menjadi social entrepreneur atau wirausaha sosial, sementara dorongan untuk mau bekarir melalui lembaga pelayanan sosial bisa jadi tidak sebanding dengan dorongan untuk menjadi seorang wirausaha sosial. Fenomena yang terakhir adalah, mereka (mahasiswa) mungkin lebih memilih keluar jalur keilmuan pekerjaan sosial atau kesejahteraan sosial daripada mereka harus bekerja pada LSM atau panti-panti baik panti sosial maupun panti rehabilitasi.
Maka yang terjadi adalah pekerja sosial bak seorang doktor yang enggan bekerja dirumah sakit. Panti-panti serta LSM atau NGO terbilang jarang di tempati oleh pekerja sosial yang seharusnya banyak terdapat pekerja sosial disana, yang siap turun ke masyarakat dan membantu memecahakan masalah di masyarakat melalui pelayanan yang dilakukan oleh lembaga-lembaga pelayanan sosial tersebut.
Maka wajar jika pekerjaan sosial kurang dipahami oleh masyarakat secara benar. Bahkan para praktisi LSM dan panti-panti masih terbilang sedikit yang benar-benar berlatarbelakang ilmu kesejahteraan sosial dan pekerjaan sosial, serta mengetahui keberadaan pekerjaan sosial dan ilmu kesejahteraan sosial, namun terlepas dari semua argumen diatas segala keputusan memang kembali pada individu masing-masing, dan keputusan tersebut tentu tidak bisa dikatakan salah atau benar.
Melalui tulisan ini, pemikiran yang sebenarnya ingin saya sampiakan adalah, bukan suatu kesalahan jika seorang pekerja sosial ingin bekerja di secondary setting, karena dengan adanya secondary setting tentu dapat meningkatkan bargaining postition dari pekerjaan sosial bahkan pekerjaan sosial bisa jadi memiliki bargaining postition yang lebih baik daripada dokter. Hanya saja hal tersebut bisa jadi sebuah kesalahan ketika pekerjaan sosial Indonesia dan para pekerja sosial didalamnya melupakan primary setting-nya. Maka dapat diabayangkan jika rumah sakit dilupakan oleh dokter-nya.